Tracing the Early Steps of Pipinisme

Menelusuri Jejak Awal Pipinisme


๐Ÿ‡ฌ๐Ÿ‡ง ENGLISH VERSION

Tracing the Early Steps of Pipinisme

Tracing the Early Footsteps of Pipinisme

Before Pipinisme became a vision, it grew from an unspoken unease. In the early days of my artistic journey, I was deeply drawn to realism—to the ability of paint to replicate reality, presenting what is seen with technical precision. Shadows, proportions, and details became a source of comfort.

Everything seemed correct, wrapped in beautifully refined colors—as if it all ended right there.
But it all felt incomplete,
as though something was waiting, waiting—for something invisible.
Something unseen, yet present. Soundless, yet echoing.
Present not in form, but in vibration.

The turning point came when I encountered the works of Paul Klee, Kandinsky, Jackson Pollock, Jean-Michel Basquiat, and even Andy Warhol. They opened new doors in my perception—that painting is not merely about results, but about experience; not to replicate, but to express.

I was also inspired by traditional works that reject constraints—wild yet honest, unafraid of imperfection, celebrating natural colors as the voice of the earth itself.

So I began to let go of the need to explain.
I learned to listen to what the canvas asked for.
And from there, Pipinisme was not designed—it was born.
As a vibration, not a concept. As silence, not a statement.


๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ VERSI INDONESIA

Menelusuri Jejak Awal Pipinisme

Menelusuri Jejak Awal Pipinisme

Sebelum Pipinisme menjadi sebuah visi, ia tumbuh dari kegelisahan yang tak terucap. Di masa awal saya berkarya, saya begitu terpikat pada realisme—pada kemampuan cat untuk meniru realita, menghadirkan apa yang terlihat dengan ketepatan teknik. Bayangan, proporsi, dan detail menjadi sumber kenyamanan.

Semuanya tampak benar, dibalut dengan kesempurnaan warna yang indah dan matang—seolah semua itu berakhir hanya sampai sana.
Namun itu semua terasa belum utuh,
seolah sesuatu sedang menanti, menunggu—menunggu yang tak kasat mata.
Sesuatu yang tidak terlihat, tapi nyata. Yang tak bersuara, tapi menggema.
Yang hadir bukan dalam bentuk, tapi dalam getaran.

Titik balik terjadi ketika saya bersentuhan dengan karya Paul Klee, Kandinsky, Jackson Pollock, Jean-Michel Basquiat, bahkan Andy Warhol. Mereka membuka pintu-pintu baru dalam persepsi saya—bahwa lukisan bukan sekadar hasil, tapi ruang untuk mengalami; bukan untuk meniru, tapi untuk menyuarakan.

Saya juga banyak terinspirasi oleh karya-karya tradisional yang menolak batas—yang liar namun jujur, yang tidak takut pada kegagalan, yang merayakan warna alami sebagai suara bumi itu sendiri.

Saya pun mulai melepaskan kebutuhan untuk menjelaskan.
Saya belajar mendengarkan apa yang diminta oleh kanvas.
Dan dari sanalah, Pipinisme tidak dirancang—ia lahir.
Sebagai getaran, bukan konsep. Sebagai keheningan, bukan pernyataan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PIPINISME

Manifesto

FROM INSIDE TO OUT